Kamis, 28 April 2011

Kisah Nyata Tujuh Kali Naik Haji Tapi Tidak Bisa Lihat Ka'bah.

Sebagai seorang anak yang berbakti terhadap orang tua, Alim (bukan nama sebenarnya), mengajak ibunya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima yaitu pergi Haji.

Alimah (juga bukan nama sebenarnya), sang Ibu, tentu senang dengan ajakan anaknya itu. Sebagai muslim yang mampu secara materi, menunaikan ibadah Haji memang kewajiban mereka.

Setelah segala sesuatunya siap, Ibu dan anak ini akhirnya berangkat ke tanah suci. Kondisi keduanya sehat wal afiat, dan tak kurang satu apapun.

Singkat cerita, akhirnya tiba hari dimana mereka melakukan thawaf dengan hati dan niat ikhlas menyeru panggilan Allah, Tuhan Semesta Alam. “Labaik allahuma labaik, aku datang memenuhi seruanMu ya Allah”.

Alim menggandeng ibunya seraya berbisik, “Bu, lihatlah Ka’bah itu.” Alim menunjuk kepada bangunan empat persegi berwarna hitam itu. akan tetapi ibunya tak bereaksi, ia terdiam. Perempuan itu sama sekali tidak melihat apa yang ditunjukkan oleh anaknya.

Dengan tampak bingung melihat raut wajah ibunya Alim kembali membisiki ibunya untuk yang kedua kali tapi tetap sang ibu tidak melihat apa-apa, Alimah pun tampak kebingungan, sang ibu tak mengerti mengapa ia tak bisa melihat apapu,. beberapakali ia mengusap-usap matanya, dan yang tampak hanyalah kegelapan.

Padahal tak ada masalah dengan kesehatan mata sang ibu. Beberapa menit yang lalu ia masih melihat segalanya dengan jelas, tapi mengapa memasuki Masjidil Haram segalanya menjadi gelap gulita.

Kesekian kali naik Haji, Alim yang sholeh itu pun bersimpuh di hadapan Allah, ia shalat memohon ampunan-Nya. Hati Alim begitu sedih akan kejadian yang dialami ibunya.

Siapapun yang datang ke Baitullah pasti mengharapkan rahmat-Nya. Pasti terasa hampa jika menjadi tamu Allah tanpa menyaksikan segala kebesaran-Nya, tanpa merasakan kuasa-Nya dan juga rahmat-Nya, tanpa bisa melihat ka'bah. Itulah yang dialami ibunya.

Tapi Alim tidak berkecil hati, mungkin dengan ibadah dan taubatnya yang sungguh-sungguh, Ibundanya akan dapat merasakan anugrah-Nya dengan melihat Ka’bah. Anak yang soleh itu berniat akan kembali berhaji tahun depan bersama ibunya dengan harapan agar ibunya bisa melihat kebesaran Allah S.W.T.

Singkat cerita, tahun berikutnya kejadian serupa terulang lagi. Alimah sang ibu kembali dibutakan di dekat Ka’bah, Alimah tak dapat menyaksikan bangunan yang merupakan simbol persatuan umat Islam itu. Sang ibu tersebut tetap tidak bisa melihat Ka’bah.

Alim pun tidak patah arang, ia berniat kembali membawa ibunya ke tanah suci tahun berikutnya.

Aneh bin ajaib, ibunda Alim tetap saja tak dapat melihat Ka’bah. Setiap berada di Masjidil Haram, Alimah hanya mampu melihat kegelapan di matanya, Na'udzubillahimindjalik, tapi begitulah keganjilan yang terjadi pada diri Alimah. Kejadian itu berulang-ulang kali terjadi, sampai tujuh kali menunaikan ibadah haji Alimah tetap saja tidak mampu melihat ka'bah.

Si Alim tak habis pikir, ia tak mengerti, apa sebab sang ibu menjadi buta di depan Ka’bah. Padahal, jika jauh dari ka'bah penglihatan sang ibu selalu normal. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah ibunya punya kesalahan di masa lalu sehingga mendapat azab dari Allah SWT ?. Apa yang telah diperbuat ibunya ? Segala pertanyaan berkecamuk dalam dirinya. Akhirnya si Alim mencari seorang alim ulama untuk membantu mencari tahu permasalahannya.

Suatu waktu ia mendengar ada seorang ulama yang terkenal karena kesholehannya dan kebaikannya di Abu Dhabi (Uni Emirat Arab). dan akhirnya bertemulah si Alim dengan ulama tersebut.

Si Alim menceritakan masalahnya kepada ulama yang sholeh ini, Ulama itu pun mendengarkan dengan seksama, kemudian meminta agar sang Ibu mau menelponnya. anak yang berbakti ini pun pulang.

Setibanya di rumah, ia meminta agar ibunya mau menghubungi ulama di Abu Dhabi tersebut. Beruntung, sang Ibu mau memenuhi permintaan anaknya. Ia pun mau menelpon ulama itu, dan menceritakan kembali peristiwa yang dialaminya di tanah suci.

Ulama itu kemudian meminta Alimah introspeksi, mengingat kembali, mungkin ada perbuatan atau peristiwa yang terjadi padanya di masa lalu, sehingga ia tidak mendapat rahmat Allah. Alimah diminta untuk bersikap terbuka, mengatakan dengan jujur, apa yang telah dilakukannya.

“Anda harus berterus terang kepada saya, karena masalah Anda bukan masalah sepele,” kata ulama itu pada Alimah.

Alimah terdiam sejenak. Kemudian ia meminta waktu untuk memikirkannya. hari-hari pun berlalu, akan tetapi ulama itu tidak mendapat kabar dari Alimah. Pada minggu kedua setelah percakapan pertama mereka, akhirnya Alimah menelpon.

dan alimah pun terbuka, katanya “Ustad, waktu masih muda, saya bekerja sebagai perawat di rumah sakit,”, “Oh, bagus itu…..Pekerjaan perawat adalah pekerjaan mulia,” potong ulama itu. “Tapi saya mencari uang sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara, tidak peduli, apakah cara saya itu halal atau haram,” ungkap Alimah terus terang. Ulama itu terperangah. Ia tidak menyangka Alimah akan berkata demikian.

“Disana….” sambungnya, “Saya sering kali menukar bayi, karena tidak semua ibu senang dengan bayi yang telah dilahirkan. Kalau ada yang menginginkan anak laki-laki, padahal bayi yang dilahirkannya perempuan, dengan imbalan uang, saya tukar bayi-bayi itu sesuai dengan keinginan mereka.” ujar Alimah.

Sang ustad pun sangat terkejut mendengar penjelasan dari Alimah.
“Astagfirullah……” betapa tega wanita itu menyakiti hati para ibu yang diberi amanah Allah untuk melahirkan anak. bayangkan, betapa banyak keluarga yang telah dirusaknya.

Apakah Alimah tidak tahu, bahwa dalam Islam menjaga nasab atau keturunan sangatlah penting.

Jika seorang bayi ditukar, tentu nasabnya menjadi tidak jelas. Padahal, nasab ini sangat menentukan dalam perkawinan, terutama dalam masalah mahram atau muhrim, yaitu orang-orang yang tidak boleh dinikahi.

“Cuma itu yang saya lakukan,” ucap Alimah.
“Cuma itu ? tanya ulama terperangah. “Tahukah bahwa perbuatan Anda itu dosa yang luar biasa besar, betapa banyak keluarga yang sudah Anda hancurkan !”. ucap ulama dengan nada tinggi.

“Lalu apa lagi yang Anda kerjakan ?” tanya ulama itu lagi sedikit kesal.
“Di rumah sakit, saya juga melakukan tugas memandikan orang mati.”
“Oh bagus, itu juga pekerjaan mulia,” kata ulama.

“Ya, tapi saya memandikan orang mati karena ada kerja sama dengan tukang sihir.”
“Maksudnya ?”. tanya ulama tidak mengerti.

“Setiap saya bermaksud menyengsarakan orang, baik membuatnya mati atau sakit, segala perkakas sihir itu, sesuai dengan syaratnya, yang harus dipendam di dalam tanah, akan tetapi saya tidak menguburnya, melainkan saya masukkan benda-benda itu ke dalam mulut orang yang mati.”

“Suatu kali, pernah seorang alim meninggal dunia. Seperti biasa, saya memasukkan berbagai barang-barang tenung seperti jarum, benang dan lain-lain ke dalam mulutnya. Entah mengapa benda-benda itu seperti terpental, tidak mau masuk, walaupun saya sudah menekannya dalam-dalam. Benda-benda itu selalu kembali keluar. Saya coba lagi begitu seterusnya berulang-ulang. Akhirnya, emosi saya memuncak, saya masukkan benda itu dan saya jahit mulutnya. Cuma itu dosa yang saya lakukan.”

Mendengar penuturan Alimah yang datar dan tanpa rasa dosa, ulama itu berteriak marah.

“Cuma itu yang kamu lakukan ? Masya Allah….!!! Saya tidak bisa bantu anda. Saya angkat tangan”.

Ulama itu amat sangat terkejut mengetahui perbuatan Alimah, tidak pernah terbayangkan dalam hidupnya, ada seorang manusia, apalagi ia adalah perempuan yang memiliki nurani, tetapi begitu tega. Tidak pernah terjadi dalam hidupnya, ada perempuan yang melakukan perbuatan sekeji itu.

Akhirnya ulama itu berkata, “Anda harus memohon ampun kepada Allah, karena hanya Dialah yang bisa mengampuni dosa Anda.”

Setelah beberapa lama, sekitar tujuh hari kemudian ulama tidak mendengar kabar selanjutnya dari Alimah. Akhirnya ia mencari tahu dengan menghubunginya melalui telepon. Ia berharap Alimah telah bertobat atas segala yang telah diperbuatnya, ia berharap Allah akan mengampuni dosa Alimah, sehingga Rahmat Allah datang kepadanya.

Karena tak juga memperoleh kabar, ulama itu menghubungi keluarga Alim di mesir. Kebetulan yang menerima telepon adalah Alim sendiri. Ulama menanyakan kabar Alimah, ternyata kabar duka yang diterima ulama itu.

“Ummi sudah meninggal dua hari setelah menelpon ustad,” ujar Alimah.

Ulama itu terkejut mendengar kabar tersebut.

“Bagaimana ibumu meninggal, Alim ?”. tanya ulama itu.

Alimpun akhirnya bercerita : Setelah menelpon, dua hari kemudian ibunya jatuh sakit dan meninggal dunia. Yang mengejutkan adalah peristiwa penguburan Alimah. Ketika tanah sudah digali, untuk kemudian dimasukkan jenazah atas ijin Allah, tanah itu rapat kembali, tertutup dan mengeras. Para penggali mencari lokasi lain untuk digali, tapi peristiwa itu terulang kembali. Peristiwa itu berlangsung begitu cepat, sehingga tidak seorangpun pengantar jenazah yang menyadari bahwa tanah itu kembali rapat. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Para pengantar yang menyaksikan peristiwa itu merasa ngeri dan merasakan sesuatu yang aneh terjadi. Mereka yakin, kejadian tersebut pastilah berkaitan dengan perbuatan si mayit.

Waktu terus berlalu, para penggali kubur putus asa dan kecapaian karena pekerjaan mereka tak juga usai. Siangpun berlalu, petang menjelang, bahkan sampai hampir maghrib, tidak ada satupun lubang yang berhasil digali. Mereka akhirnya pasrah, dan beranjak pulang. Jenazah itu dibiarkan saja tergeletak di hamparan tanah kering kerontang.

Sebagai anak yang begitu sayang dan hormat kepada ibunya, Alim tidak tega meninggalkan jenazah orang tuanya ditempat itu tanpa dikubur. Kalaupun dibawa pulang, rasanya tidak mungkin. Alim termenung di tanah perkuburan seorang diri.

Dengan ijin Allah, tiba-tiba berdiri seorang laki-laki yang berpakaian hitam panjang, seperti pakaian khusus orang Mesir. Lelaki itu tidak tampak wajahnya, karena terhalang tutup kepalanya yang menjorok ke depan. Laki-laki itu mendekati Alim kemudian berkata padanya,” Biar aku tangani jenazah ibumu, pulanglah!”. kata orang itu.

Alimpun lega, Ia berharap laki-laki itu akan menunggu jenazah ibunya. Syukur-syukur mau menggali lubang untuk kemudian mengebumikan ibunya.

“Aku minta supaya kau jangan menengok ke belekang, sampai tiba di rumahmu, “pesan lelaki itu.

Alim mengangguk, kemudian ia meninggalkan pemakaman. Belum sempat ia di luar lokasi pemakaman, terbersit keinginannya untuk mengetahui apa yang terjadi dengan kenazah ibunya.

Sedetik kemudian ia menengok ke belakang. Betapa pucat wajah Alim, melihat jenazah ibunya sudah dililit api, kemudian api itu menyelimuti seluruh tubuh ibunya. Belum habis rasa herannya, sedetik kemudian dari arah yang berlawanan, api menerpa wajahnya. Alim pun ketakutan. Dengan langkah seribu, ia pun meninggalkan tempat itu.

Demikian yang diceritakan Alim kepada ulama itu. Alim juga mengaku, bahwa separuh wajahnya yang tertampar api itu kini berbekas kehitaman karena terbakar. Ulama itu mendengarkan dengan seksama semua cerita yang diungkapkan Alim. Ia menyarankan, agar Alim segera beribadah dengan khusyuk dan meminta ampun atas segala perbuatan atau dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh ibunya. Akan tetapi, ulama itu tidak menceritakan kepada Alim, apa yang telah diceritakan oleh ibunya kepada ulama itu.

Ulama itu meyakinkan Alim, bahwa apabila anak yang soleh itu memohon ampun dengan sungguh-sungguh, maka bekas luka di pipinya dengan ijin Allah akan hilang. Benar saja, tak berapa lama kemudian Alim kembali mengabari ulama itu, bahwa lukanya yang dulu amat terasa sakit dan panas luar biasa, semakin hari bekas kehitaman hilang. Tanpa tahu apa yang telah dilakukan ibunya selama hidup, Alim tetap mendoakan ibunya. Ia berharap, apapun perbuatan dosa yang telah dilakukan oleh ibunya, akan diampuni oleh Allah SWT.